Rabu, 14 Desember 2011

Tatapanku ironis, penuh kedustaan.

Senyum manis menutup kegelisahan sudah menjadi tradisi.
Bagai air mata dalam tetesan hujan di petang senja.
Menenggelamkan seluruh kerinduan akan asa yang selama ini hanyut.
Kau bilang kau mendekapku.
Tapi tak menyentuhku.
Aku muak dengan semua omong kosong ini.
Berontak? Ya! Ingin sekali aku melakukannya.
Ingin sekali aku melawan semua egomu tentang hidupku. Ya, hidupku!
Sudah lama ku tutup mata dan telingaku!
Sudah lama ku bungkam semua kata-kata dimulutku!
Khayalan akan kenyataan yang mendramatisir menjadi harapan.
Diskriminasi hati menjadi pilihan.
Hanya ada senyuman yang menyeringai, menatap kebodohanku.
Tatapanku ironis, penuh kedustaan.
Tangis yang menjadi saksi bisu akan kesendirianku.
Hariku gelap. Tragis memang.
Hanya ada hitam disini. Langit itu, pelangi itu.
Semua hitam. Kelam.
Sandiwara yang selama ini kulalui begitu menjemukan.
"Sampai kapan akan terus seperti ini?"
Aku bertanya pada hatiku---Hati kecilku.
Kosong. Sunyi. Tak ada jawaban.
Kehampaan sebagai potret hatiku.
Tak ayal hanya ada aku dan semua skenario-skenario konyolku.
Merasakan pahitnya kisah-kisah masa laluku.
Masih terukir indah dalam memori ingatanku.
"Bisakah kau bangun?! Bisakah kau tepati janji-janjimu?!"
Aku terisak pada batu nisan yang berukirkan namamu.
Ku lihat pusara tempat peristirahatan terakhirmu.
Tak ada jawaban. Hembusan angin mulai mengejekku.
"PECUNDANG!!"
Aku benci mengingatmu dan semua kenangan indah denganmu.
Pikiranku tak bisa terkontrol lagi. Kacau sudah.
Semangatku hilang separuhnya.
Bisakah aku memintanya untuk kembali, Tuhan?
Aku merasa bodoh kali ini.
Membenci orang yang sangat aku cintai. Munafik rasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar