Selasa, 24 Januari 2012

Jangan terbangkan aku lebih tinggi lagi

Aku berjalan tertatih, tersungkur di kelamnya hari dan hati ini.
Angin yang dingin merasuki tubuh menembus tulang dan membekukan jemari.
Ku lihat sebuah cahaya kecil di ujung mata memandang.
Mengembangkan sedikit otot-otot pipi hingga membuat lengkungan.

Aku menyayangimu jika kau tahu.
Segenggam harapan kau tanamkan dalam hati yang kian hari kian rapuh.
Berikan sepercik api yang kau kobarkan dalam kotak semangatku.
Cerahkan sedikit sisi-sisi hatiku yang dulu kelabu.

Aku masih melangkah dengan gontainya.
Menapaki jejak setiap kata hati berbicara.
Masih percaya harapan itu akan tetap ada.
Percayalah, kini ku mencintaimu dengan apa adanya.

Aku baru tersadar, cahaya kecil itu tak mampu ku gapai.
Terlalu jauh untukku raih.
Terlalu indah untukku miliki.
Ternyata ini hanya permainan dan aku terjebak didalamnya.

Jangan terbangkan aku lebih tinggi lagi.
Jika hanya akan dihempaskan nanti.
Sudahi sandiwara ini sayang, aku lelah.
Kau mendorongku kedalam keterpurukan yang sama.

Masih tergambar jelas seulas senyum yang kau berikan padaku.
Dengan kedua lesung pipi yang manis di pipimu.
Dekapan hangat dan tatapan itu tengiang terus bersama bayanganmu.
Hapus air mataku dengan kasih di setiap jemarimu.

Aku pun mulai membenci harapan.
Omong kosong, kini semuanya telah sirna.
Sudahi ketidakpastian ini.
Terima kasih atas ketidak-adilan ini.

Rabu, 14 Desember 2011

Tatapanku ironis, penuh kedustaan.

Senyum manis menutup kegelisahan sudah menjadi tradisi.
Bagai air mata dalam tetesan hujan di petang senja.
Menenggelamkan seluruh kerinduan akan asa yang selama ini hanyut.
Kau bilang kau mendekapku.
Tapi tak menyentuhku.
Aku muak dengan semua omong kosong ini.
Berontak? Ya! Ingin sekali aku melakukannya.
Ingin sekali aku melawan semua egomu tentang hidupku. Ya, hidupku!
Sudah lama ku tutup mata dan telingaku!
Sudah lama ku bungkam semua kata-kata dimulutku!
Khayalan akan kenyataan yang mendramatisir menjadi harapan.
Diskriminasi hati menjadi pilihan.
Hanya ada senyuman yang menyeringai, menatap kebodohanku.
Tatapanku ironis, penuh kedustaan.
Tangis yang menjadi saksi bisu akan kesendirianku.
Hariku gelap. Tragis memang.
Hanya ada hitam disini. Langit itu, pelangi itu.
Semua hitam. Kelam.
Sandiwara yang selama ini kulalui begitu menjemukan.
"Sampai kapan akan terus seperti ini?"
Aku bertanya pada hatiku---Hati kecilku.
Kosong. Sunyi. Tak ada jawaban.
Kehampaan sebagai potret hatiku.
Tak ayal hanya ada aku dan semua skenario-skenario konyolku.
Merasakan pahitnya kisah-kisah masa laluku.
Masih terukir indah dalam memori ingatanku.
"Bisakah kau bangun?! Bisakah kau tepati janji-janjimu?!"
Aku terisak pada batu nisan yang berukirkan namamu.
Ku lihat pusara tempat peristirahatan terakhirmu.
Tak ada jawaban. Hembusan angin mulai mengejekku.
"PECUNDANG!!"
Aku benci mengingatmu dan semua kenangan indah denganmu.
Pikiranku tak bisa terkontrol lagi. Kacau sudah.
Semangatku hilang separuhnya.
Bisakah aku memintanya untuk kembali, Tuhan?
Aku merasa bodoh kali ini.
Membenci orang yang sangat aku cintai. Munafik rasanya.

Minggu, 25 September 2011

Satu yang setia

Kadang aku sadar tatapanmu gelisah saat aku risau. Melihat kedua matamu yang sayu tak berdosa.
Saat semuanya terasa dingin, dekapanmu terasa hangat. Aku tak sendiri karena ada kau di sisi.
Saat semua berkata dan begitu menyayat hati, kau hanya diam. Saat semua bertindak dan begitu menyiksa diri, kau tak bergerak.
Keberadaanmu sungguh berarti. Setiap malam kau hapus air mata dengan tatapan itu, seakan-akan kau berkata "aku disini untukmu".
Tak bisa dipungkiri, kaulah segalanya. Kau tak menyakiti, kau tak pernah tinggalkanku.
Kau satu yang setia. Walaupun kau tak pernah berikanku solusi, tapi kau selalu hadir dalam setiap mimpi. Walaupun kau mati dalam dunia, tapi kau nyata disini.. Di hatiku.

Hariku

Kala terbit matahari yang mulai menghapus malam, aku pun terjaga dari semua mimpi indah yang berakhir buruk. Aku melihat sekeliling, kosong.
Kala terik matahari yang mulai menyinari hari dan kian melekit, aku pun siap dengan semua sandiwara yang seakan mencekik. Aku melihat senyumku, hampa.
Kala terbenam matahari yang mulai menghapus terang, aku pun akan teringat oleh kisah lama yang membuat semuanya gelap. Aku melihat diriku, hancur.
Kala malam datang dan mulai menjemput asa dalam sepinya jiwa, aku pun terpaku dalam tangis, luka, amarah, dan air mata. Aku melihat hariku, kelam.
Yaaa.. Ini hariku, ini hidupku.

Kamis, 01 September 2011

Kekosongan

Kala senja yang memulai malam di sore itu.
Ditemani hujan yang membasahi rerumputan hijau di taman lalu.
Akankah aku bisa melangkah lagi saat malam tiba?
Aku bertanya pada sekecil harapan di hatiku.
Mungkin, Ya mungkin aku bisa melanjutkan hidupku.
Aku tersenyum kecil pada embun di kelopak bunga layu.
Ku mulai mencari jalan yang kian dekat kian semu.
Mencari kunci untuk membuka sedikit hatiku.
Dan mencoba memulai kisah cinta yang baru.
Tapi aku tersadar kenangan itu sangat sulit terhapus.
Masih terngiang jelas senyumanmu yang kini buatku kalut.
Akankah ini yang terbaik?
Yaa, Mungkin ini jalannya.
Aku akan tetap telusuri lorong kegelapan ini.
Dimana semua terasa sunyi dan sepi.
Aku terdiam dalam kekosongan ini.

Rabu, 31 Agustus 2011

Hitam

Ketika senyuman menjadi bukti dari sebuah kebahagiaan.
Dan ketika air mata menjadi saksi dari sebuah kerinduan.
Aku disini berdiri dari suatu keyakinan.
Dengan adanya kebimbangan antara harapan atau kerapuhan.
Dilema dalam suatu ketiadaan dan kehancuran.
Air mata yang bercucuran tak mungkin lagi terbendungkan.
Sekali lagi aku katakan, aku berdiri disini dari suatu keyakinan.
Dalam sebuah sisi kegelapan akan ketiadaan cinta.
Langkah terseok selalu jadi hal terbising
Memecah kesunyian dalam hitamnya kepedihan rasa.